Kebun Budiasi, Korupsi Pohon Pertamina Foundation Dan Penggeledahan Bareskrim





Oleh: Mega Simarmata, Editor in Chief KATAKAMI



Jakarta, Senin 2 November 2015 ( KATAKAMI) --- Persis setahun yang lalu di bulan November seperti ini, saya mengunjungi Kebun Pembibitan Pohon milik bersama antara Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Mayor Jenderal Doni Monardo (Mantan Dan Paspampres di era Sby, yang kini menjabat sebagai Pangdam Pattimura).

Sejuta pujian pasti akan diberikan oleh siapapun yang pernah datang atau mendengar tentang hal ihwal Kebun Pembibitan Budiasi di kawasan Sentul.

Memperkerjakan belasan warga lokal yang tinggal di desa tempat kebun itu didirikan.

Kebun ini mendapat sponsor dan dukungan finansial dari sebuah BANK PEMERINTAH untuk digunakan sebagai gaji para pengurus dan pekerja kebun.

Puluhan ribu bibit pohon terus dibagikan secara gratis selama bertahun-tahun, terutama untuk program bagi-bagi pohon Presiden Sby, Ibu Negara Ani Yudhoyono, SIKIB dan jajaran pemerintahan Sby.

Bahkan sampai Pemerintah Timor Leste meminta bantuan dan kerjasama dengan Kebun Budiasi untuk pembuatan Kebun Raya di Timor Leste.

Kebun ini seolah-olah sangat mengabdi pada kepentingan lingkungan hidup dan punya totalitas dalam melakukan program penghijauan GO GREEN secara sukarela.

Pokoknya semua bertema "HIJAU UNTUK INDONESIA".

Kebun inilah satu-satunya andalan dan tulang punggung Sby untuk semua urusan penanaman atau bagi-bagi bibit pohon kepada masyarakat selama berkuasa di Indonesia.

Penilaian terhadap misi mulia Kebun Budiasi ini mau tak mau memang akan selalu positif.

Tapi akhirnya semua penilaian positif itu langsung hancur sehancur-hancurnya, seiring dengan keberadaan saya pada suatu hari di ruang kerja seorang Direktur jajaran Bareskrim pada tanggal 31 Agustus 2015.

Ada satu lagi wartawan Harian terkemuka yang ikut bersama saya berbincang dengan Direktur tersebut.

Yang kami bicarakan adalah kasus dugaan korupsi pohon di era Sby selama kurun waktu 2011 sampai 2014 yaitu program menanam 100 juta pohon yang didanai CSR Pertamina Foundation.

Bareskrim mencium bau anyir korupsi di balik program menanam 100 juta pohon ini yaitu terdapat relawan-relawan fiktif yang sengaja dibuat-buat untuk menimbullan kesan bahwa program ini sangat hebat dan memang berjalan.

Ketika saya bertamu ke ruang kerja Direktur itu, saya mendengar dialog yang sangat intensif antara pimpinan dan bawahan di lingkungan Eksus Bareskrim.

Masalahnya, pengurusan surat perintah penggeledahan dari pengadilan berlangsung sangat alot dan mendadak jadi dipersulit.

Rumit sekali pengurusan surat penggeledahan kantor Pertamina Foundation.

Bayangkan, pejabat yang bertugas menanda-tangani surat perintah penggeledahan di dalam internal Pengadilan Negeri, bisa "menghilang" dari kantornya.

Ditunggu oleh anggota Bareskrim sejak pagi, surat perintah penggeledahan itu tak kunjung dikeluarkan sampai akhirnya selesai jam kerja.

Alasannya, orang yang hari itu bertugas menanda-tangani surat perintah penggeledahan, makan siang dan tak kembali ke kantor sampai sore.

Dari jam 11 siang pamit untuk makan siang.

Tapi tunggu punya tunggu, sampai jam 16 sore tak kunjung balik ke kantornya.

Kewajiban untuk meminta surat perintah penggeledahan dari Pengadilan inilah yang menjadi kendala bagi jajaran kepolisian.

Sebab KPK tidak diwajibkan meminta surat perintah penggeledahan dari pengadilan, jika mereka hendak menggeledah.

Berbeda halnya dengan kepolisian.

Jika polisi hendak menggeledah maka sehari atau dua hari sebelumnya, harus mengurus surat perintah penggeledahan dari pengadilan negeri setempat, di wilayah tempat dimana kantor yang akan digeledah itu dilaksanakan.

Singkat kata, proses penggeledahan di Kantor Pertamina Foundation jadi dilaksanakan pada tanggal 1 September 2015.

Dan saya ada di lokasi penggeledahan.

Sejak sehari sebelumnya memang patut dapat diduga Bareskrim sudah mulai dihambat untuk "menyentuh" kasus korupsi pohon yaitu dengan tingginya tingkat kesulitan untuk bisa mendapatkan surat perintah penggeledahan dari Pengadilan.

Saya katakan kepada seorang Direktur di Bareskrim seperti ini:

"Gaji polisi ini tidak seberapa. Anggaran penyidikan kasus korupsi di Bareskrim juga tidak seberapa. Tapi kalau koruptor-koruptor tahu bahwa surat perintah penggeledahan dari Pengadilan sangat mutlak didapat Bareskrim kalau mau menggeledah, maka koruptor dan perusahaan mereka akan pasang kaki tangan atau mata-mata di setiap pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri".

Direktur itu menjawab, "Ya beginilah kendala yang harus kami hadapi di lapangan. Jadi sekarang kalian bisa tahu, apa kendala polisi kalau mau menangani kasus kasus korupsi".

Sambil menunggu rumitnya mengurus surat perintah penggeledahan saat akan menggeledah kantor Pertamina Foundation itulah, saya tahu tentang dugaan kebohongan dibalik program menanam pohon di era Sby dari kurun waktu 2011 sampai 2014.

Dana Rp 256 Miliar yang digelontorkan CSR Pertamina Foundation kepada Pemerintahan Sby untuk program menanam 100 juta pohon selama 4 tahun, diduga cuma tipu-tipu dan fiktif.

Saya ceritakan kepada Direktur di Bareskrim itu bahwa hanya ada 1 kebun pembibitan pohon yang menjadi andalan Sby sejak 4 tahun terakhir untuk urusan pohon yaitu Kebun Pembibitan Pohon Budiasi yang dikelola Mayor Jenderal Doni Monardo.

Sehingga kalau ada kasus dugaan korupsi yang hal ihwalnya soal menanam pohon maka itu bisa menyeret banyak pihak.

Termasuk menyeret sejumlah instansi yang sangat diandalkan Sby urusan tanam pohon yaitu Paspampres dan Kopassus.

Terutama ya itu tadi, Kebun Pembibitan Pohon Budiasi.

Namun Bareskrim hanya akan mengembangkan dari temuan-temuan, barang bukti dan saksi yang didapat dari penggeledahan dan pemeriksaan saksi-saksi.

Yang lainnya bisa belakangan untuk diusut dan diperiksa.

Yang ingin saya sampaikan adalah sungguh tak ada respek pada tindak tanduk penuh kepalsuan terhadap isu-isu lingkungan hidup yang selama ini dipamerkan Sby dan orang-orang yang dipercayainya mengurusi masalah pohon.

Saya ingat tentang sebuah cerita dari bawahan Mayjen Doni Monardo yang disampaikan kepada saya.

Pada suatu hari Sby memerintahkan kepada Komandan Paspampres agar koleksi pohon-pohon di rumah pribadi Sby di Cikeas, segera ditambah dan diperbaharui.

Maka 1 unit mobil truk Kopassus pun dikerahkan untuk membawa ratusan pohon yang diminta Sby.

Ternyata ada 1 helai daun yang terjepit di pintu truk dan "difoto".

Foto daun terjepit itu dikirimkan ke handphone Mayjen Doni Monardo sebagai teguran keras bahwa bawahannya tidak teliti dan ceroboh.

Seketika itu juga, Mayjen Doni Monardo mengamuk kesetanan kepada semua bawahannya di Kebun Budiasi karena pohon pohon untuk Sby "tidak sempurna" alias ada yang terjepit daunnya di pintu truk.

Kebun Budiasi ini jugalah yang diduga menjadi markas penyimpanan sdm yang dipersiapkan untuk menempatkan orangnya Cikeas untuk masuk ke jajaran intelijen Paspampres bila Sby sudah lengser.

Seorang perwira menengah berpangkat letkol ditugaskan Mayjen Doni Monardo menjadi Ketua Pengurus Kebun Budiasi.

Beberapa bulan sebelum Sby lengser, Mabes TNI meresmikan pembentukan grup baru di Paspampres yaitu Grup D yang bertugas mengawal Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden.

Persis 2 minggu sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden, Mayjen Doni Monardo yang saat itu menjabat sebagai Komandan Paspampres mengubah susunan organisasi Paspampres dan memutasi sejumlah pejabat di lingkungan Paspampres.

Perwira menengah yang selama ini ditugaskannya menjadi "pengurus kebun pembibitan pohon Budiasi" ditunjuk sebagai Asisten Intelijen Paspampres dan naik pangkat menjadi kolonel.

Padahal waltu mutasi itu dilakukan, Doni sudah dalam persiapan pindah tugas menjadi Danjen Kopassus dan yang menjadi komandan Paspampres adalah Mayjen Andika Perkasa.

Dan bulan Mei lalu, si pengurus kebun pembibitan pohon itu mendapat promosi lagi menjadi Komandan Grup D yang tugasnya mengawal Sby sekeluarga.

Hehatnya lagi, pengurus kebun Budiasi yang berpangkat kolonel ini pernah diperintah Mayjen Doni Monardo untuk menteror saya.

Tetapi yang bersangkutan langsung ketakutan karena saya melapor ke Presiden Jokowi.

Kebun Pembibitan Pohon Budiasi patut dapat diduga memang tahu banyak seputar korupsi pohon era Sby yang menggunakan dana CSR Pertamina Foundation.

Dan terkuaknya kasus korupsi pohon ini saya anggap sebagai karma terhadap arogansi Mayjen Doni Monardo menekan saya.

Dari mulai Komandan Grup D Paspampres, Komandan Grup 2 Kopassus, Komandan Grup 3 Kopassus ( yang lama yaitu Jo Sembiring), Komandan Sat Gultor Kopassus, anggota Denma Kopassus, sejumlah Asisten, pernah ditugasinya untuk menghubungi saya.

Pernah jam 22.30 malam, ia memerintahkan bawahan-bawahannya untuk menggoda dan mengganggu saya.

Bahkan pernah juga seorang anggota Kopassus diperintahkan datang ke Bareskrim untuk pura pura bertamu ke rekan seangkatannya.

Ternyata maksud kedatangan itu untuk mencari saya di Balai Wartawan Bareskrim.

Menutup tulisan ini, hendaklah masing masing kita punya kepedulian dan rasa cinta lingkungan secara tulus, murni dan natural apa adanya.

Alangkah malunya kita di hadapan dunia internasional, untuk urusan pohon saja, jadi topeng untuk melahap dan menikmati uang korupsi.

Dan satu hal yang saya puji dari Pemerintahan Jokowi adalah presiden yang saat ini memerintah di Indonesia tidak pernah mau korupsi dari kepalsuan soal tanam menanam pohon.

Apalagi sampai harus mendirikan sebuah kebun pembibitan pohon.

Dan karena ada seorang wartawati yang gencar menyoroti kasus korupsi pohon ini, ada seorang perwira tinggi bintang ** yang pernah mengamuk kesetanan karena ada daun terjepit pintu truk, saat ini diduga sedang terus berusaha mengganggu dan hendak membungkam wartawati itu.

Ke laut aja lu.

Kelakuan kok bar bar sekali !

(***)

Reply · Report Post